Santri Dilarang Malas

Santri? Don't Malas-Malas
Oleh: Elisa Shofi Farida

Siang ini, sinar matahari tertutupi hitamnya mendung. Angin berhembus menggoyangkan pohon-pohon kecil di depan gerbang pesantren. Suara kaki terdengar mengguntur mengalahkan petir teman mendung itu, para santri putri yang sedang melakukan aktivitasnya berlomba-lomba berlari ketika mendengar suara percikan tangisan mendung. Ya, mereka berusaha menyelamatkan pakaian-pakaian mereka yang sudah mereka cuci, entah kemarin, tadi pagi, atau baru saja ada di jemuran. Semua naik ke lantai tiga, tempat berjemur baju-baju, dan sahabat-sahabat baju santri putri. Mereka berlarian dan mencari barang-barang miliknya. Dan turun dengan cepat sebelum hujan semakin deras. Ada yang turun dengan membawa pakaian kering lalu tersenyum lega, ada yang turun dengan baju setengah kering dan berlari mencari tempat aman di jemuran lantai dua yang beratap, ada yang kalah dengan hujan lalu memilih turun dan merelakan pakaiannya basah, fikir mereka "Ah, nanti kalau panas juga kering". Yang paling parah, sedikit dari mereka berusaha menerjang hujan dan akhirnya pakaian mereka tidak terselamatkan dan mereka ikut basah kuyup. Huft.... Malangnya. Di balik lika liku puluhan santri itu, ada seorang santri putri yang dari tadi hanya menatap dua ember terisi air yang penuh dengan pakaian-pakaian. Namanya Icha, seorang santri Pondok Pesantren Roudlotul Muta'abbidin putri yang dari tadi berniat untuk mencuci tapi tidak jadi-jadi. Dia hanya berdiri mematung di kamar mandi ketika semua orang sedang ribut di luar. Ia terus berfikir "Hm... Sekarang hujan, kalaupun aku cuci nggak bakal kering, aku juga malas sih nyuci sekarang, soalnya nanti kalau di cuci tapi tidak di jemur, malah bau. Di lantai dua pasti juga sudah penuh, tapi bajuku terlanjur di ember" Begitu benaknya bergumam. Banyak yang dia pertimbangkan hanya karena galau masalah cuci mencuci. Ia mencoba melihat derasnya hujan di luar, sambil ‘sok’ memperkirakan berhentinya hujan layaknya ahli cuaca. "Hujan kayak gini pasti lama berhentinya, sebentar lagi masuk dluhur, sholat jama'ah lalu mengaji, terus bagaimana nasib baju-bajuku yang kedinginan ini?" Icha memang seperti itu, kebiasaanya malas melakukan apapun membuatnya selalu ceroboh dalam banyak hal. Tak terasa waktu yang dia habiskan untuk menggalaukan cuciannya, adzan dluhur berkumandang lantang mengejutkan Icha. Tanpa pikir panjang, ia langsung menuju ke kamarnya dengan wajah kusut penuh kebingungan. Dari jauh, sorot mata penuh penasaran menatap wajah Icha dengan serius, setelah terlihat Icha semakin dekat, ia mencoba menyapanya “Hei... Cha” Atik, sahabatnya itu menghentikan lamunan Icha. Icha hanya menjawab dengan dongakan wajah tanda mendengar sapaan sahabatnya itu. “Why your muka nekuk horor kayak gitu?" Tanya Atik yang berlogat ‘sok’ inggris akibat keantusiasannya belajar b. Inggris kemarin. Icha tetap tidak membuka mulutnya, kini ia hanya ikut duduk bersama Atik, ini semakin membuat Atik penasaran dengan apa lagi yang sedang di fikirkan sahabatnya yang sedang melamun itu, karena biasanya yang di fikirkan Icha itu selalu aneh-aneh dan tidak masuk akal. Sekian detik akhirnya Icha mulai bersuara. "Kasihan...." Ujarnya lalu bernafas dalam-dalam. "Siapa?" Sahut atik merespon. "Kebasahan.... Kedinginan.... Apalagi yang kecil-kecil, kasihan banget.... Sampai kapan ya mereka kayak gitu" Cakap Icha sambil terus melamun dan tidak menghiraukan pertanyaan Atik. Ini membuat Atik mengerutkan alisnya, "Woy..." Kata Atik keras sambil melambaikan tangan ke depan mata Icha dan membuatnya sadar dari lamunannya. "Ngomong apa sih? Siapa?" Tanya Atik lagi. "Cucianku numpuk, nanti bantuin ya.." Jawab Icha dengan wajah tidak berdosanya sambil menepuk paha Atik lalu berdiri dan berlalu meninggalkan Atik. Atik geram dan menepuk-nepuk jidadnya "Allah.... Dosa apa punya sahabat kayak gini!".
Waktu untuk sholat berjama'ah telah masuk, semua santri bergegas ke musholla dan melakukan sholat berjama'ah lalu kembali ke asrama masing-masing dan bersiap-siap untuk pergi mengaji siang ini. Icha yang juga satu asrama dengan Atik ingat sesuatu ketika dia mencari seragam untuk mengajinya. “Astaghfirullah....  Seragamku” Teriaknya mengagetkan satu asrama. “Seragammu masih di ember?” Tanya Atik spontan. “Hahaha....” Gelak tawa satu asrama terdengar bersahutan karena ulah Icha yang sudah di anggap biasa itu. “Ya Allah Cha... Dari tadi kamu ngapain aja nggak nyuci-nyuci” Kata Rika, sahabatnya satu asrama sudah berkali-kali mengingatkan agar Icha tidak terus menjadi pemalas. “Hayo... Siap-siap di hukum kamu...” kali ini Irda, sahabatnya yang satu lagi ikut menimpali. “Aaa.... Pusing....” Teriak Icha tidak karuan.
Pondok pesantren memang mengajarkan santrinya untuk menjadi pribadi yang rajin, bukan hanya sholat berjama’ah dan mengaji saja kegiatan santri, masih banyak kegiatan pondok yang melatih santri untuk sabar dan tidak bermalas-malasan, seperti ro’an, kebiasaan mengantri makan, mandi, termasuk mencuci. Hal-hal seperti itulah yang biasanya dirindukan santri ketika sudah lulus dari pesantren. Bukan hanya hal-hal menjengkelkannya. Santri juga pasti merasakan indahnya berbagi, susah senang bersama, dan menghabiskan hari dari bangun tidur sampai tidur lagi dengan orang yang sama, itulah yang membuat santri mempunyai banyak teman dan banyak kenangan. Dalil ‘Susah senang bersama’lah yang akan digunakan Icha kali ini. Icha berbalik badan lalu mengangkat bahunya seperti layaknya orang yang akan berpidato. “Wahai teman-temanku, sahabat-sahabatku, kita telah lama bersama, sudah seharusnya kita saling membantu dan menyelesaikan masalah bersama, untuk itu mari kita selesaikian bersama makhluk-makhluk di emberku itu, bagaimana? Apakah rekan–rekan setuju?” Semua yang ada di asrama ‘Fatimah’ itu hanya saling melirik lalu tertawa terbahak-bahak. “Sudah sudah... Sekarang kita pergi ngaji dulu, masalah cucianmu, nanti kita bantu” Kata Rika membuat Icha tersenyum lega. “Tapi setelah itu, buang kebiasaan malasmu” Sahut Irda mengingatkan. “Siap!!” Jawab Icha dengan wajah konyolnya sambil tangannya mengangkat hormat kepada semua yang ada di depannya.
Akhirnya mereka tetap pergi mengaji dengan Icha yang memakai baju seadanya (Tidak berseragam). Icha tetap dihukum, tapi ia berjanji ini adalah hukuman terakhir untuk kemalasannya.

Amanat: Bermalas-malasan hanya akan membuatmu kesusahan, jauhkan, buang, apalagi dari santriwati yang sudah cantik mempesona, kalau dia adalah pemalas buat apa?

Komentar